Background

Metamorfosis Rindu Roro Jonggrang

Sosok Roro Jonggrang meluruh bertandang di kedua mataku, aku mengikutinya, lalu dia memandang ke pepohonan yang dahan-dahan telanjangnya menjulang ke angkasa. Kini dia datang lagi!

Tiba-tiba aku merindu menyerupai rindu para perantau akan senyum ibu pada batu, namun ketika ingin aku tiupkan pada telinganya aku tak lagi memiliki suara, ketika ingin aku katakana pada matanya, ah! aku tak tahan akan sinarnya. Aku tak lagi memiliki cahaya.

“Melalui kenangan kurajut sejarahmu, kisah ulat dan kepompong yang keluar dari celah jari-jari dan kilat kuku yang merambat dan membebat sela-sela rusuk dadaku, mencari sebuah taman yang pernah dipenuhi ribuan bunga peliharaanmu yang kemudian menjelma dalam kitab lengang para Biku”

di simpang alaf ke-3 kupu-kupu-kuning-jingga meruap membakar seperti kuncup mawar yang tiba-tiba mekar! pecahlah hati, merobek daging membenggang tulang-tulang rusukku, meluncur mencari pengantin tersedih yang pernah ia sunting saat tujuh purnama itu, menyeruak ke satu titik langit

titik langit yang dahulu kala selalu engkau pandang dari dalam kelam kelopak malam, menatap awan sambil menggigit bibir sendiri, mata bergenang linang lebih manja dari langit pada bulan-bulan hujan.

tetapi tidak! kelak langit dan dirimu sendiri akan meninggalkan semua kesedihan yang engkau ciptakan.

Roro,
Dalam sebuah mimpi, aku saksikan sepasang kupu-kupu terbang beriringan, syahdan. Seekor kupu-kupu terbang menjauh kemudian hinggap diujung jari tanganku, menyematkan ciuman bunga sebelum mengepak sayap terbang di udara mencari pasangannya,

Kupu-kupu itu bersenandung seolah tenggorokanya berdawai perak, melanglang mencari wangi tubuhmu dan meninggalkan sebuah kisah merdu padaku, kisah tentang sebuah negeri angin yang telah lama diceritakan alam pada malam,

Dan, engkau menyangka kupu-kupu yang menghampiri hanyalah sebuah ilusi, namun pada saatnya engkau akan tahu, kelak kupu-kupu-kuning-jingga akan terbang dan hinggap ditiang layar perahu pipimu, setiap kali aku engkau kenang.

Roro,
Aku sudah terlalu rindu, aku ingin memeluk dan menciummu, karena semua sungguh sudah terlalu, sedingin batu. Aku selalu ingin di dekatmu, agar aku bisa merayumu setiap kamu marah atau sebal padaku,

masih ingatkah surat itu? Katamu
: riwayat yang gugur dari daun-daun dan senyum, serupa embun engkau menegurku sambil mengusap sungai yang mengaliri dadaku. Bisu aku dalam tangismu, ngilu luka waktu daun jatuhi rambutmu. Kitapun memanjakan waktu. Memahat dingin arca dalam gelap puriku, melumat lumutnya dalam rindu membatu.

Adib Belaria Abadi

Categories: Share

Leave a Reply